2011, RI Miliki Pabrik PLTS
5 Oktober 2009
BANDUNG, (PR).-Setelah bertahun-tahun berkutat dengan perencanaan pengembangan industri sel surya dalam negeri, pemerintah mulai menunjukkan keseriusannya. Jika rancangan yang disusun PT Len Industri Persero disetujui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 2011 Indonesia sudah akan memiliki pabrik fotovoltage berkapasitas 50 megawatt per tahun.
“Saat ini kami baru menyelesaikan rancangannya dan paling lambat pada 15 Oktober sudah melakukan presentasi kepada presiden. Keberadaan pabrik PLTS ini akan memberikan nilai ekonomis yang tinggi, baik bagi masyarakat perdesaan maupun perkotaan,” ujar Direktur Utama PT Len Industri Persero Wahyuddin Bagenda di Kantor PT Len, Jln. Soekarno Hatta, Bandung, Jumat (2/10).
Bagi masyarakat perdesaan, katanya, pengembangan sel surya ini akan mampu meningkatkan rasio elektrisitas listrik ke daerah, termasuk membantu kesejahteraan masyarakat. Bagi daerah perkotaan bisa mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Diharapkan, pembangunan pabrik sudah dimulai awal 2010 di area PT Len, menggunakan teknologi thin film.
Pabrik yang lebih dikenal dengan nama pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) itu diperkirakan akan menelan investasi 125 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,25 triliun. Kendati nilai investasinya sangat besar, Wahyuddin Bagenda meyakinkan balik modal akan terjadi setelah tiga tahun.
“Kalau bicara jangka pendek, nilai investasi ini memang terlihat sangat mahal. Akan tetapi, jika jangka panjang, akan jauh lebih murah. Pembangkit listrik ini juga tidak akan terpengaruh kondisi ekonomi dan harga minyak dunia,” ujarnya. Proyek PLTS ini telah diwacanakan sejak 1970.
Satu megawatt tenaga matahari bisa menghasilkan energi hingga 1,5 juta kwh atau setara dengan 500 kiloliter bahan bakar minyak (BBM). Jika satu barel minyak diasumsikan 70 dolar AS, setiap 1 megawatt energi yang dihasilkan akan menghemat 300.000 dolar AS. Jika yang dihasilkan mencapai 50 megawatt per tahun, berarti Indonesia bisa menghemat hingga 15 juta dolar AS.
Padahal, menurut Ade Hermaka, Corporate Secretary PT Len Industri Persero, angka 50 megawatt hanyalah permulaan. Ke depannya, setiap tahun akan mengalami peningkatan hingga 10 megawatt. “Berdasarkan model yang telah kami susun bahkan bisa mencapai angka maksimal 90 megawatt per tahun,” tuturnya.
Sebagai gambaran nyata, ia mencontohkan pemanfaatan modul sel surya untuk memenuhi kebutuhan 20-25 persen energi PT Len. Sejak saat itu tagihan listrik PT Len turun dari Rp 60 juta lebih menjadi Rp 50 juta per bulan.
Potensi tenaga surya di Indonesia terhitung sangat besar dan diperkirakan bira menghasilkan listrik hingga hitungan terawatt, jauh melebihi produksi PLN yang masih berada pada ukuran gigawatt. Indonesia merupakan negara dengan serapan tenaga surya terbesar di ASEAN.
Untuk memenuhi bauran energi pada 2025, pemerintah menargetkan pemanfaatan sel surya hingga 1-2 gigawatt, 1,25-2,5 persen kebutuhan energi nasional. Namun, sejauh ini demand industri sel surya di Indonesia baru mencapai 10 megawatt. Pemerintah dinilai masih memiliki pekerjaan rumah untuk meningkatkan demand sel surya. Nilai ekonomis baru tercapai pada angka 50 megawatt.
Dalam perkembangannya, menurut Ade, sel surya juga bisa menjadi sumber pemasukan masyarakat. Jika ke depannya Indonesia sudah memiliki kebijakan feed in tariff seperti di 40 negara lain, masyarakat yang memasang solar sel di rumah atau kantor bisa menjual energi tersebut kepada PLN. (A-150)***